Laporan Pengendalian hayati

LEMBAR PENGESAHAN

Pengesahan laporan kegiatan praktikum Pengendalian Hayati di Lab Hama Penyakit Tanaman gedung OECF lantai 3 Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman, kota Samarinda.

Nama : Hairil Anwar

Nim : 1303015044

Konsentrasi : Ilmu Hama Penyakit Tanaman

Prodi : Agroekoteknologi

Fakultas : Pertanian

Telah melaksanakan kegiatan praktikum Pengendalian Hayati di Lab Hama Penyakit Tanaman gedung OECF lantai 3 Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman dari tanggal 19 Oktober 2015 sampai dengan Desember 2016. Dengan rincian kegiatan praktikum tersebut terangkum dalam Laporan ini.

Samarinda, 29 Desember 2016

Menyetujui

Koordinator Asisten Praktikum

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat melaksanakan sebuah praktikum dan menyelesaikannya dengan baik hingga menjadi sebuah laporan praktikum.

Laporan praktikum ini adalah sebuah laporan yang saya buat setelah saya melakukan praktikum Mikologi dan Bakteriologi. Laporan tersebut saya susun dengan sistematis dan sebaik mungkin berdasarkan pada hasil praktikum yang sebenarnya.

Akhir kata kami menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan praktikum ini. Semoga bermanfaat dan akan terus bermetamorfosis menuju kesempurnaan, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

Amin.

Samarinda, 29 Desember 2016

Penyusun

Hairil anwar

1303015044

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan

Kata pengantar

Daftar isi

Daftar gambar

Acara I

Pengaruh aplikasi tricoderma spp terhadap penyakit layu fusarium …………………………………………………………..4

Acara II

Eksplorasi Jps dari alam………………………………………………………………13

Acara III

Eksplorasi Nps Dari alam………………………………………..22

Daftar Pustaka

Lampiran

ACARA I

PENGARUH APLIKASI TRICODERMA SP. TERHADAP

PENYAKIT LAYU FUSARIUM

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanaman tomat (Lycopersicum esculentum) merupakan komoditas sayuran yang telah dikenal dan diusahakan oleh petani serta mempunyai adaptasi yang luas sehingga dapat dibudidayakan pada berbagai ekosistem yang berbeda (Baihaki dalam Duriat, 1997). Bertambahnya populasi penduduk dari tahun ke tahun serta membaiknya tingkat pendapatan masyarakat mengakibatkan permintaan akan komoditas tomat meningkat rata-rata 4,34% pertahun (Pasandaran dalam Duriat, 1997). Selama periode tahun 1990 sampai dengan tahun 2000, volume ekspor komoditas tomat terus meningkat, volume ekspor tahun 1990 sebanyak 1.444.279 kg dan tahun 2000 sebanyak 2.373.105 kg dan cenderung akan terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya, sehingga dapat memberikan sumbangan terhadap penerimaan devisa Negara (Ditjen Bina Produksi Hortikultura, 2002). Salah satu kendala dalam budidaya tomat untuk mencapai hasil yang maksimal adalah adanya serangan penyakit, diantaranya serangan penyakit layu Fusarium yang disebabkan oleh jamur Fusarium oxysporum f.sp. lycoversici. Penyakit ini merupakan penyakit penting dalam tanaman tomat terutama di daerah daratan tinggi (Semangun, 1991). Kerugian akibat penyakit ini di Pacet Jawa Barat mencapai 16,7% (Makohara, dalam Semangun, 1996).

Pengendalian terhadap organism pengganggu tanaman pada umumnya masih mengandalkan penggunaan fungsisida. Walaupun kesadaran akan bahaya zat kimia cukup tinggi, tetapi penyemprotan fungisida untuk mengendalikan jamur penyebab penyakit tampaknya tetap merupakan salah satu cara untuk mengurangi kerugian (Gorenz dalam Sukamto dkk, 1997). Pada perkembangan pengendalian penyakit akhir-akhir ini perhatian akan pencemaran lingkungan mulai tampak, sehingga penggunaan fungisida mulai dibatasi. Oleh karena itu arah pengendalian

mulai dialihkan ke pengendalian biologi dengan menggunakan agens hayati salah satunya yaitu jamur antagonis Trichoderma sp.

Trichoderma sp. adalah salah satu jamur tanah dan merupakan bahan pengendalian yang aman dan ramah lingkungan. Kebanyakan saprofit dalam tanah dan kayu, Trichoderma sp. dapat menghasilkan enzim β (1,3) glukonase dan kitinase yang dapat menyebabkan degradasi dan lisis pada dinding sel Fusarium oxysporum. Cara jamur Trichoderma sp bekerja dalam mengendalikan patongen yaitu proses kolonisasi dengan cepat mendahului pathogen kemudian berkompetisi secara agresif atau menyerang tempat yang belum ditempati Fusarium oxysporum. Pertumbuhan miselium Trichoderma sp akan melilit dan memenuhi tempat di sekitar hifa dari jamur inang dan menyebabkan hifa pathogen akan mudah sekali menjadi kosong, runtuh dan akhirnya hancur (Cook & Backer dalam Waluyo, 2004). Genus Trichoderma spp merupakan salah satu jamur yang mempunyai potensi sebagai jamur antagonis serta banyak diteliti kemampuannya dalam mengendalikan pathogen terbawa tanah. Hasil penelitian Sivan dan Chet dalam Hersanti dkk, (2000) membuktikan bahwa jamur Trichoderma spp mampu mengurangi intensitas serangan penyakit layu Fusarium pada tanaman gandum 83%, pada tanaman kapas, tomat 80%, dan 60% pada tanaman melon. Hasil penelitian Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi (2002) menyimpulkan bahwa Trichoderma spp ternyata juga memberikan pengaruh positif pada pertumbuhan vegetative dan perkembangan genetatif tanaman serta hasil panen. Tanaman yang diaplikasi Trichoderma spp tumbuh dengan cepat dengan performa tanaman yang subur, waktu pembungaan cepat dengan jumlah bunga banyak, dan jumlah polong yang juga lebih banyak dibandingkan dengan tanaman yang tidak di aplikasi Trichoderma spp. Hasil tersebut menjadi sebuah fenomena tersendiri yang menunjukkan kemampuan dari Trichoderma spp untuk merangsang pertumbuhan tanaman.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Upaya pengendalian Fusarium banyak menemui kesulitan, terutama dengan menggunakan bahan kimia yang kurang efektif sehingga menjadi tidak efisien, karena Fusarium mempunyai struktur yang bertahan dalam tanah yaitu klamidospra yang dapat dorman beberapa tahun dalam tanah walaupun tanpa tanaman inang. Persistensi Fusarium di dalam tanah sangat lama, karena mampu hidup sebagai saprofit.

Hal ini menyebabkan sulitnya mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh pathogen ini. Berdasarkan hal tersebut dan untuk mengurangi pencemaran lingkungan dan residu pestisida, dipikirkan alternative lain dalam upaya pengendalian Fusarium oxysporum yang ramah lingkungan. Salah satu alternatifnya adalah pengendalian secara biologis yaitu dengan mengunakan Trichoderma sp sebagai jamur antagonis. Trichoderma spp merupakan jamur yang berpotensi sebagai jamur antagonis yang dapat mengendalikan pathogen-patogen tular tanah. Hasil penelitian Kasim dan Prayitno (1993) menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis aplikasi Trichoderma spp 50 gram/pot yang disebarkan di atas permukaan tanah mampu menekan Sclerotium rofsii pada tanaman panili. Menurut Baker and Cook dalam Hersanti dkk (2000), Trichoderma spp berpotensi sebagai antagonis bagi pathogen tanaman, karena menghasilkan antibiotik, cepat menguasai ruang dan hara juga parasit. Beberapa penelitian membuktikan bahwa Trichoderma sp berperan sebagai parasit pada Rigidoporus sp, Sclerotium sp, Rhizoctonia spp, Pythium sp dan Fusarium spp. Hasil penelitian Hersanti dkk (2000) menyebutkan bahwa introduksi Trichoderma spp 20 gram/2 kg tanah mampu menekan perkembangan penyakit layu Fusarium, meningkatkan tinggi tanaman dan berat basah tanaman tomat. Untuk mengandalikan Fusarium oxysporum penyebab penyakit busuk batang pada tanaman panili, Balai Proteksi tanaman Perkebunan Jawa Barat (2003) menganjurkan dosis aplikasi Trichoderma spp sebanyak 50 gr/pohon untuk bibit panili di polybag sampai umur tanaman 2 tahun.

B. TUJUAN

Untuk mengetahui potensi tricoderma harizanum dalam mengendalikan penyakit layu fusarium pada tanaman tomat.

BAB III

METODE PRAKTIKUM

C. Cara Kerja

1. Waktu danTempat

Praktikum ini dilaksanakan pada tanggal 19 Oktober 2016, yang bertempat pada lahan didepan area sekitar gedung baru fakultas pertanian universitas mulawarman.

2. Alat danBahan

Alat yang digunakan pada saat praktikum adalah cangkul, parang, polybag, dan kayu sebagai penopang bibit.Sedangkan bahan yang digunakan pada praktikum ini ialah bibit tomat, tanah, pupuk kandang, dan jamur Trichoderma spp.

3. MetodePraktikum

1. Campurkan tanah dengan pupuk kandang yang sudah disediakan

2. Kemudian masukan campuran tanah dan pupuk kedalam polybag hingga penuh

3. Masukan bibit yang sudah di siapkan kedalam polybag

4. Kemudian siram dengan air secukupnya

5. Amati perkembangan dan gejala jamur Fusarium pada tanaman

6. Setelah tanaman berumur kurang lebih satu bulan lakukan pemberian jamur Trichoderma spp pada setiap polybag

7. Kemudian amati tanaman hingga produksi apakah jamur Trichoderma spp berpengaruh untuk mengendalikan penyakit jamur Fusarium.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

D. Hasil Pengamatan

Tabel pengamatan selama 4 minggu

Pengamatan Minggu ke-	Lebar daun	Panjang daun	Tinggi batang	gejala
1	0,10 cm	2.5 cm	5,5 cm	Belum bergejala
2	1 cm	3,5 cm	6,5 cm	Bewarna kuning pada pucuk daun
3	1,3 cm	3,7cm	6,9cm	Bewarna kuning pada pucuk daun
4	2 cm	4 cm	7,5 cm	Sekitar 30% daun bewarna kuning

E. Pembahasan

Dari praktikum yang telah dilakukan untuk mengetahui potensi tricoderma harizanum dalam mengendalikan penyakit layu fusarium pada tanaman tomat. Bisa di lihat dari table hasil pengamatan bahwa nilai indikator gejala perubahannya pada minggu pertama belum menunjukan perubahan, pada minggu kedua pucuk daun sudah menguning sampai minggu ke tiga, dan pada minggu ke empat sekitar 30% daun sudah menguning, ini menunjukan bahwa pengendalian dengan trocoderm hazarium cukup efekti dalam pengendalian layu fusarium tersebut, karena dilihat dari pertumbuhan tanamannya kondisinya tidak terlalu mengganggu pertumbuhan tanaman tersebut, Keadaan tersebut menunjukkan bahwa introduksi jamur Trichoderma spp. berpengaruh terhadap perkembangan persentase serangan penyakit layu Fusarium pada tanaman tomat,

Keadaan menunjukkan bahwa minggu ke 1 serangan layu Fusarum belum terpengaruh oleh jamur antagonis Trichoderma hazarium sp., sedangkan mulai minggu ke ke tiga sampai dengan minggu ke empat serangan jamur pathogen Fusarium oxysporum sudah mulai tertekan oleh jamur antagonis Trichoderma hazarium sp, hal ini dimungkinkan mulai terjadinya proses hiperparasitisme jamur antagonis Trichoderma hazarium sp. terhadap jamur pathogen Fusarium oxysporum yang menyebabkan rusaknya hifa Fusarium oxysporum dan kemudian menjadi lisis.

BAB V

PENUTUP

F. Kesimpulan

pengendalian dengan trocoderm hazarium cukup efekti dalam pengendalian layu fusarium tersebut, karena dilihat dari pertumbuhan tanamannya kondisinya tidak terlalu mengganggu pertumbuhan tanaman tersebut, Keadaan tersebut menunjukkan bahwa introduksi jamur Trichoderma spp. berpengaruh terhadap perkembangan persentase serangan penyakit layu Fusarium pada tanaman tomat.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pertanian 2006. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan.

Djatmiko, H.A., dan Rohadi, S.S., 1997. Efektivitas Trichoderma harzianum Hasil Perbanyakandalam Sekam Padi dan Bekatul Terhadap Patogenesitas Plasmodiophora brassicae pada Tanah latosol danAndosol. Majalah Ilmiah UNSOED, Purwokerto 2 : 23 : 10-22.

Gultom, J.M., 2008. Pengaruh Pemberian Beberapa Jamur Antagonis dengan Berbagai Tingkat Konsentrasi Untuk Menekan Perkembangan JamurPhytium sp

Penyebab Rebah Kecambah pada Tanaman Tembakau (Nicotiana tabaccum L.) http://repository.usu.ac.id.pdf Akses 6 Februari 2014.

ACARA II

EKSPLORASI JPS DARI ALAM

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) muncul dan berkembang sebagai koreksi terhadap kebijakan Pengendalian hama secara konvensional yang bertumpu pada penggunaan pestisida berspektrum luas, yang ternyata dapat menimbulkan masalah antara lain resurjensi, resistensi, timbulnya hama sekunder, residu pada hasil pertanian, pencemaran lingkungan hidup, dan kesehatan masyarakat.

Budaya,dengan tujuan mengendalikan populasi atau intensitas serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) sampai tingkat yang tidak menimbulkan kerusakan ekonomis, menjamin produksi pada taraf tinggi, menghindari residu pestisida, dan menjamin keberlanjutan produksi.

Untuk terlaksananya penerapan PHT secara menyeluruh dan berkelanjutan, telah ditetapkan bahwa strategi operasional PHT adalah dengan mengutamakan peran lingkungan sebagai faktor pengendali alamiah dan memprioritaskan pemanfaatan dan pelestarian musuh alami. Seharusnya kita tidak ragu-ragu untuk menempatkan pengendalian hayati sebagai komponen utama PHT. Dengan demikian kita akan lebih peduli pada keberadaan dan kelestarian Agens Hayati.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Agens Hayati (Biological Agent) Agens Hayati adalah setiap organisme yang meliputi spesies, sub spesies, atau varietas dari semua jenis serangga, nematode, protozoa, cendawan, bakteri, virus, mikoplasma, serta organisme lain yang dalam semua tahap perkembangannya dapat dipergunakan untuk keperluan pengendalian OPT dalam proses produksi, pengolahan hasil pertanian dan berbagai keperluan lainnya.

Pada dasarnya agens hayati dikelompokkan dalam empat kelompok, yaitu :
Predator : adalah binatang yang memakan hama/ OPT untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Parasitoid : adalah serangga yang memarasit atau hidup dan berkembang dengan menumpang pada serangga lain (inang).
Patogen Serangga : adalah jasad renik (mikroorganisme) yang menyebabkan infeksi dan menimbulkan penyakit pada serangga hama.
Agens Antagonis : adalah jasad renik yang mengintervensi aktvitas pathogen penyebab penyakit tumbuhan baik fase parasitic maupun saprofitiknya.

2.2. Pengendalian Hayati Alami.
Pengendalian hayati alami adalah pengendalian OPT di alam oleh musuh alami yang sudah terdapat di lokasi tanpa campur tangan manusia.

2.3. Pengendalian Hayati Terpadu
Pengendalian hayati terpadu adalah pengendalian OPT dengan menggunakan musuh alami, dalam hal ini perlu campur tangan manusia dalam penyediaan dan pelepasan musuh alami tersebut. Terdiri dari :
Introduksi (pemindahan musuh alami)
- Inroduksi dari luar negeri
- Inroduksi antara wilayah dalam suatu negara
Peningkatan Musuh Alami :
- Augmentasi, adalah meningkatkan jumlah populasi musuh alami yang berasal dari pemeliharaan di laboratorium.
- Konservasi, adalah semua upaya yang bertujuan melestarikan musuh alami yang sudah ada di lapangan.

B. TUJUAN

Untuk mengetahui cara perbanyakan hayati meggunakan metode starter dari beras berbagai daerah.

BAB III

METODE PRAKTIKUM

C. Cara Kerja

Praktikumdilaksanakanpadatanggal 25 November 2016, bertempatkan di laboratorium Hama PenyakitTumbuhan, lantaitiga, Gedung OECF, FakultasPertanian, UniversitasMulawarman.

1. Alat danBahan

Alat yang digunakanpadapraktikum kali iniadalahautoklap, kertas plastic, ember, sendok, suntikan, timbangandankertas label.Sedangkanbahan yang digunakanadalahberas, isolatjamurTrichodermaspp, dan air.

2. MetodePraktikum

1. Kumpulkan beras kemudian masukan kedalam panic lalu dikukushingga beras setengahmatang.

2. Setelah selesai masukan beras dalam ember, kemudian masukan berasmenggunakan sendok kedalam plasik sebanyak 50 gram.

3. Masukanberas yang sudah dibungkus kedalama utoklap yang sdah diisi air, kemudian tutupd enganrapat dan taruh diata skompor yang menyala

4. Tunggu hinggamen didih sampai suhu mencapai 120°, lalu biarkan selama 15 menit.

5. Setela hituang katberas dari autoklap kemudian didinginkan

6. Sambil menunggu berasnya dingin, kita buat pengenceran jamur Trichodermaspp dari kota Samarinda.

7. Setelah berasnya dingin kemudian suntikan cairan jamur Trichodermaspp sebanyak 3 ml.

8. Jangan lupa tutup lubang suntikan dengan menggunakan kertas label yang sudah diberi nama.

Setelah 2-3 harik edepan amati berasapakah sudah ditumbuhi jamur Trichodermaspp atau tidak.

BAB IV

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

D. Hasil Pengamatan

( a ) ( b )

Gambar 1. (a) beras yang telah direbus setengah matang, (b) starter Trichoderma spp. yang telah berhasil bewarna hijau.

No.	Perkembangan	Keterangan
1.	Minggu Pertama ( Rabu, 22 November 2016 )	pertumbuhan jamur belum ada perubahan. Dapat dilihat masih terdapat beras yang belum ditumbuhi jamur.
2.	Minggu Kedua ( Jum’at, 29 November 2016 )	pertumbuhan jamur belum optimal. Dapat dilihat masih terdapat beras yang belum ditumbuhi jamur.
3.	Minggu Ketiga ( Rabu, 06 Desember 2016)	pertumbuhan jamur pada ulangan 1 sudah banyak dibanding pada hari minggu pertama

E. Hasil Pembahasan

Praktikum ini dilakukan pengamatan pada minggu pertama dan trakhir pada minggu ke tiga, data yang di dapatkan adalah perbanyakan jamur pada media beras yaitu pada minggu pertama dan kedua pertumbuhan jamur belum maksimal. Karena media beras sebagai media perbanyakan belum semuanya ditumbuhi jamur Trichoderma spp. masih terdapat jamur yang berwarna putih. Sedangkan pada hari minggu ketiga pertumbuhan jamur sudah lebih banyak dibandingkan dengan minggu pertama, hal tersebut karena semakin lamanya masa inkubasi perbanyakan. Media beras pada minggu ketiga sudah hampir di tumbuhi jamur Trichoderma spp. Semua, Pada praktikum ini digunakan media beras dalam perbanyakan agensia hayati (Trichoderma sp.

BAB V

PENUTUP

F. Kesimpulan

Lamanya inkubasi membuat perubahan tiap minggu pada tricoderma dengan berubah bentuk fisiknya

DAFTAR PUSTAKA

Lilik,et.al., 2010 .Peningkatan Kualitas Nutrisi Putak melalui Fermentasi Campuran Trichoderma reesai dan Aspergillus niger sebagai Pakan Ruminansia. Institut Pertanian Bogor. Fakultas Pertanian. Bogor (Tesis)

Houston, D.F. and G.O. Kohler. 1982. Nutritional properties of rice. Nat’l.

Acad. Sci., Washington D.C

Santiaji, B dan Gusnawaty HS. 2007. Potensi Ampas Sagu sebagai Media

Perbanyakan CendawanAgensia Biokontrol untuk Pengendalian Patogen Tular Tanah . Agriplus 17:20-25

Tandium., 2005. Analisis kandungan zat-zat makanan kulit

buah kakao yang difermentasi dengan Trichoderma sp. sebagai pakan ternak ruminansia. Agrisains, 6(3):157-165

ACARA III

EKPLORASI NPS DARI ALAM

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengendalian hama secara konvensional ternyata dapat menimbulkan masalah antara lain resurjensi, resistensi, timbulnya hama sekunder, residu pada hasil pertanian, pencemaran lingkungan, dan kesehatan. Kemudian muncul konsep pengendalian hama terpadu untuk memperbaharui cara pengendalian diatas.

Penerapan PHT dilakukan dengan pendekatan ekologis agar menghindari dari residu pestisida yang dapat menyebabkan beberapa masalah. Maupun begitu, pengendalian hama terpadu ditujukan untuk menekan agar OPT tidak menyebabkan kerusakan ekonomis dan keberlanjutan produksi.

Potensi jamur Trichoderma sebagai jamur antagonis yang bersifat preventif terhadap serangan penyakit tanaman telah menjadikan jamur tersebut semakin luas digunakan oleh petani dalam usaha pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Disamping karakternya sebagai antagonis diketahui pula bahwa Trichoderma,sp. Juga berfungsi sebagai dekomposer dalam pembuatan pupuk organik. Penggunaan jamur Trichoderma secara luas dalam usaha pengendalian OPT perlu disebarluaskan lebih lanjut agar petani-petani Indonesia dapat memproduksi jamur Trichoderma secara mandiri. Trichoderma mudah didapatkan dari alam dan mudah juga diperbanyak. Media

yang digunaan untuk memperbanyak Trichoderma yaitu menggunakan media beras, sekam, jagung dan bekatul. Oleh karena itu, dilakukan praktikum ini untuk mengetahui cara perbanyakan Trichoderma sebagai agensia hayati untuk pengendalian penyakit tumbuhan.

B. Tujuan

Adapun tujuan dari pratikum ini eksplorasi Nematoda entopatogen ini adalah untuk mendapatkan nematoda entopatogen dari sampel tanah yang diambil dari sekitar pohon pisang.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Menurut pendapat Salem, (2002) menyatakan bahwa Pada saat ini masyarakat mulai memahami akan bahaya pengaruh samping penggunaan pestisida kimiawi atau senyawa sintetik terhadap lingkungan. Penggunaan pestisida kimiawi dapat menimbulkan dampak kekebalan serangga hama tanaman (resistensi), peledakan serangga hama sekunder (resurjensi), dan pencemaran lingkungan. Oleh karena itu penggunaan agens hayati saat ini memperoleh perhatian yang sangat besar terutama dalam kelompok masyarakat petani. Beberapa agens hayati sudah dikenal masyarakat petani yaitu jenis jamur (seperti Metarhizium sp., dan Beauveria bassiana), jenis bakteri dan jenis Virus(Salem, 2002).

Selain tiga jenis agens hayati tersebut, saat ini ditemukan agens hayati dari jenis nematoda (cacing) yang berukuran 700-1000 mikron. Nematoda ini hidupnya di dalam tubuh serangga, dan disebut sebagai nematoda entomopatogen. Karena hidupnya di dalam tubuh serangga, maka nematoda entomopatogen ini berpotensi untuk mengendalikan serangga hama. Nematoda entomopatogen merupakan salah satu agens hayati yang dapat digunakan untuk mengendalikan serangga hama tanaman tanpa menimbulkan dampak negatif pada lingkungan. Untuk memanfaatkan nematoda ini sebagai biopestisida, maka harus dilakukan pembiakan atau produksi massal nematoda. Cara produksi massal dapat dilakukan di laboratorium atau di dalam ruangan secara sederhana, sehingga hal ini dapat dilakukan oleh petani secara mandiri. Disamping itu juga dapat dilakukan produksi dalam skala besar dengan mendirikan pabrik, sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan (Maddison, 1995).

Menurut seorang peneliti Robinson, (1998) melakukan penelitian tentang Pengendalian secara hayati dengan musuh alami aman terhadap lingkungan dan tidak menimbulkan resistensi serangga. Salah satu jenis musuh alami yang non-endemik dipertanaman padi adalah nematoda dari genus Steinernema dan Heterorhabditis (Rhabditida: Steinernematidae danHeterorhabditidae). Kedua genus dapat menjadi agen pengendalian hayati yang efektif untuk PBPK karena mempunyai banyak keunggulan. Stadia infektihya, yaitu juvenil instar-3 atau biasa disebut juvenil infektif (JI), memiliki hampir semua karakter yang diperlukan sebagai musuh alami yang ideal, antara lain: mampumencari serangga di dalam tanah atau di dalam habitat tersembunyi di dalam agensi hayati, oleh karena itu pengendalian dengan nematoda ini merupakan pengendalian Hayati yang dapat digunakan oleh masyarakat pertanian (Robinson, 1998).

Nematoda entomopatogen ini digunakan untuk mengendalikan hama yang menyerang tanaman pada umumnya tanaman sayuran. Seperti ulat buah dan ulat penggerek daun. Nematoda yang akan digunakan mengendalikan ulat tesebut pada umumnya bersembiosis dengan bakteri yang dapat menginfeksi ulat tanaman. Oleh karena itu pada saat ini banyak dilakukan pembiakan dan isolasi nematoda entomopatogen (Maddison, 1995).

BAB III

METODE PRAKTIKUM

C. Cara Lerja

1. WaktudanTempat

Praktikum dilaksanakan padatanggal 16 November 2016, tempat praktikum dilaksanakan di laboratorium Hama PenyakitTumbuhan, Lantai 3, Gedung OECF, Fakultas Pertanian, Universitas Mulawarman.

2. AlatdanBahan

Alat yang digunakanpadapraktikum kali iniadalahcawan petri, gelasplastik, pinset, ember kecil, glasobjek, btol film, danmikroskop. Sedangkanbahan yang digunakanadalahtanah, alcohol 70%, air, formalim, ulatHongkongdantisu.

3. MetodePraktikum

1. Ambil tanah disekitar tanaman pisang secukupnya kemudian bawa ke laboratorium.

2. Masukan tanah kedalam cawan petri lalu masukan 20 ulat hongkong kedalamnya kemudian tutup dengan gelas platik.

3. Masukan tanah kedalam ember kecil lalu masukan 20 ulat hongkong kedalamnya kemudian tutup dengan kain.

4. Amati ulat hongkong dua hari kedepan, jika ulat mati berarti terdapat nematode parasite didalamnya.

5. Siapkan cawan petri, tutup botol dan tisu.

6. Taruh tutup botol ditengah-tengah cawan petri lalu letakkan tissue diatas tutup botolnya kemudian siram dengan air secukupnya.

7. Setelah itu cari ulat hongkong yang mati kemudian taruh beberapa diatas tutup botol yang dilapisi tissue. Biarkan selama 24 jam

8. Keesokan harinya tuang air yang didalam cawan petri kedalam botol film, kemudian masukan formalin beberapa tetes ke dalam botol film dan rendam ke dalam air panas selama beberapa menit.

9. Setelah itu amati bentuk-bentuk dan jenis nematode parasitnya.

10. Ambil dokumentasi sebagai bahan laporan.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

D. Hasil Pengamatan

E. Hasil yang didapatkan pada saat pengamatan ialah jenis nematoda Steinernema spp, dan bentuk-bentuk yang didapatkan :

No	Tanggal/hari pengamatan	Ulat hidup (ekor )	Ulat mati (ekor )	Keterangan
1	16 Novemberr 2016/ rabu	20	-	Ulat masih ada yang hidup
2	23 November 2016/ rabu	20	4	Ulat mulai banyak mati
3	30 November 2016/ rabu	16	3	berubah menjadi coklat kehitaman dan mati
4	07 Desember 2016/ rabu	13	5	ulat makin berkurang karena mati
5	14 Desember 2016/ rabu	8	2	Ualt makin sedikit yang hidup

E. Pembahasan

Pada praktikum nematoda kali ini kita mengamati nematoda entomopatogen yang terdapat di dalam tanah tanaman pisang digunakan sebagai agen pengendali hayati serangga hama yang menyerang tanaman. Dimana pada praktikum ini kita akan mencoba mengamati nematoda entomopatogen. Salah satu jenis musuh alami yang non-endemik di pertanaman tanaman adalah nematoda dari genus Steinernema spp, genus ini dapat menjadi agen pengendalian hayati yang efektif. Yang akan didapatkan setelah dilakukan isolasi dengan menggunakan ulat hongkong.

Pada praktikum ini diamati bahwa kemungkinan adanya nematoda di dalam tanah dapat di lihat jumlah ulat hongkong yang mati di dalam stopless yang telah terdapat tanah yang lembab. Di mana pada hari pertama jumlah ulat hongkong yang belum ada, sedangkan ulat yang mati pada hari yang kedua adalah 4, pada hari ketiga adalah 3 dan sedangkan pada hari ke empat dalah 3.

BAB V

PENUTUP

F. Kesimpulan

nematoda dari genus Steinernema spp, genus ini dapat menjadi agen pengendalian hayati yang efektif. Yang akan didapatkan setelah dilakukan isolasi dengan menggunakan ulat hongkong.

kemungkinan adanya nematoda di dalam tanah dapat di lihat jumlah ulat hongkong yang mati di dalam stopless yang telah terdapat tanah yang lembab.

DAFTAR PUSTAKA

Harryano.2005.Agensi pengendali hayati hama tumbuhan. Universitas bengkulu.Bengkulu.

Yanto. 2007. Dasar – Dasar Perlindungan Tanaman. Gramedia. Bandung

Borror et al., 1982 Patogenesis Nematoda Tanaman. Universitas Paddjaran. Bandung.

Deptan. Perlindengan tanaman semusim dan tahunan. Balai Penelitian tanaman Pangan Indonesia. Bogor

.Samsudin, 2011. Nematoda Pengendali Hayati. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Search This Blog

{ rielinstinct_49 }